Disaat saya mendapatkan telp dari salah satu sahabat dan rekan baik saya yg telah memulai bisnisnya sebagai salah satu perusahaan startup di dunia retail & property, dan bersedia sharing dan meminta bantuan kepada saya untuk membuat financial modeling (proyeksi investasi & keuangan) dan tax planning (perencanaan perpajakan) untuk bisnis nya tersebut yg semakin besar, disaat itu pula saya mendapatkan informasi yang mungkin bagi sebagian orang tidak akan menyangka, bahwa salah satu perusahaan retail super modern akan “tutup”. Tapi sebenarnya hal itu tidak mengagetkan bagi saya, karena dalam beberapa tahun ini memang secara indikator proyeksi keuangan sudah jelas memprediksi perusahaan tersebut akan melemah, bahkan bisa saya katakan sampai dengan tahun 2020 merupakan ujian berat yang harus dihadapi perusahaan sektor retail / riil.
Memang sebuah anomali yang terjadi saat ini adalah disaat indikator makro perekonomian meningkat dengan ditandai oleh stabilnya nilai tukar rupiah, inflasi yg terkendali, investasi di pasar modal stabil, dan bahkan survey kepercayaan publik ke pemerintah yg tinggi selain itu ditambah dengan lembaga pemeringkat Standard & Poor’s akhirnya menaikkan peringkat kredit Indonesia menjadi layak investasi pada bulan Mei 2017.. tetapi disaat bersamaan pula lah sektor riil melemah / lesu yg diprediksi disebabkan oleh daya beli yg lesu.
Menurut analisa saya pribadi, ini lah yg bisa di sebut dengan keadaan DIGITAL DISRUPTION… Apa & Kenapa Digital Disruption itu? Digital disruption adalah sesuatu yang datang setelah era digital dan mengganggu kestabilan bisnis yang tidak menggunakan internet dan teknologi digital sebagai nilai tambahnya. Kecenderungan masyarakat saat ini yang sudah beralih dari perilaku mengkonsumsi atau memilih barang dan jasa (vendor) melalui penjual ril atau toko kepada sektor online. Sektor ril sudah mulai tergerus oleh sektor digital. Dimana sektor ini pun membutuhkan modal cash flow yg tidak terlalu besar seperti sektor ril. Sektor ini secara mata rantai saya lihat juga melibatkan Vendor yang menawarkan e-katalog yang beragam dan menarik dan mudah diakses, Marketing Affiliate yang memasarkan barang & jasa vendor dengan teknik mengirimkan tautan link melalui email ataupun media sosial, dan Buyer sebagai pihak pembeli. Mata rantai yang sangat sederhana tetapi dapat menjangkau luas segmen pasar yang bahkan dapat mengalahkan segmen pasar distribusi sektor usaha ril. Bahkan sangat mungkin pemilik bisnis retail tidak perlu memiliki toko dan hanya memiliki gudang, dan pemilik usaha kuliner tidak perlu memiliki sebuah tempat restoran, tetapi hanya memerlukan tempat memasak dan bahkan para pengajar atau konsultan tidak perlu bertatap muka dengan para muridnya atau peserta didik nya, karena dapat melalui e-course.
Kondisi seperti ini, jika saya pelajari dan amati merupakan sebuah ekonomi perubahan yang lebih cenderung akan menambah keuntungan sektor individu “beneficial ownership” dibandingkan sektor korporasi. Kenapa? Jika diperhatikan secara detail secara aliran dana (cash flow) dari mata rantai sektor online tidak mewajibkan untuk membentuk badan usaha, lalu kemana aliran dana keuntungan jika tidak berbadan usaha? Ya sudah jelas aliran keuntungan tersebut akan mengalir kepada pribadi pelaku bisnis tersebut. Oleh karena itu, menurut pendapat saya pribadi, pemerintah sudah memahami pola ini. Hal ini terbukti bahwa dari sektor perpajakan, pemerintah sudah mempertimbangkan ulang untuk besaran PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak). PTKP sudah jelas berhubungan dengan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 Orang Pribadi, yaitu pajak atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi dari mana pun sumber pendapatannya, baik dari sektor formal sebagai karyawan maupun dari bisnis pribadi.
Sehingga pola sistem ekonomi seperti ini merupakan anomali, kenapa? Karena dari satu sisi pemerintah dapat meningkatkan potensi penerimaan negara dari sektor pajak dengan memperluas basis pajak dengan data dari hasil pelaksanaan program Tax Amnesty terdahulu dan potensi penurunan besaran PTKP orang pribadi. Namun di sisi lain, perkembangan bisnis retail / ril yang kian hari makin meredup. Sehingga, menurut analisa saya pribadi memang sudah sepatutnya pemberian “insentif” kepada sektor yang terkena dampak “digital disruption” tersebut dengan jalan kebijakan sektoral maupun kebijakan fiskal.
Salam Sukses Sejahtera
Leave a Reply